Jakarta, Parlando Indonesia --
Indonesia bersama negara-negara Arab mendukung proposal Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk gencatan senjata di Jalur Gaza yang diklaim bertujuan mengakhiri agresi Israel di Palestina.
Dalam usulan tersebut, Trump mengajukan 20 poin yang secara garis besar berisi tuntutan pengembalian sandera, penarikan pasukan Israel jika kondisi memungkinkan, hingga pembentukan komite untuk pemerintahan sementara Gaza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru-baru ini Hamas mengumumkan sepakat atas proposal Trump ini dan mengisyaratkan kesiapan untuk segera memasuki negosiasi yang dimediasi guna membahas rincian lebih lanjut dari kesepakatan tersebut.
Pada Jumat (3/10), Hamas melalui pernyataan enam paragrafnya menyatakan "persetujuan untuk membebaskan semua tawanan pendudukan, baik yang masih hidup maupun jenazah yang telah meninggal, sesuai dengan kerangka pertukaran yang termasuk dalam proposal Presiden Trump."
Namun, sebagian pengamat menilai proposal tersebut hanya menguntungkan Israel dan tak mendengar aspirasi rakyat Palestina. Namun, Indonesia dan negara-negara Arab justru menyambut usulan itu.
"[mereka] menyambut baik kepemimpinan Presiden Donald J. Trump dan upaya tulusnya untuk mengakhiri perang di Gaza, serta menegaskan keyakinan mereka atas kemampuannya menemukan jalan menuju perdamaian," demikian pernyataan bersama yang dirilis pada Senin (29/9).
Lalu, apakah posisi Indonesia tepat?
Peneliti kebijakan luar negeri dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Waffaa Kharisma mempertanyakan sikap yang diambil Indonesia. Ia memandang otoritas RI seharusnya melihat secara kritis sebelum memberikan dukungan.
"Apakah pertimbangan dukungannya, termasuk usaha memasukkan diri dalam percakapan dan pembicaraannya, merupakan suatu bagian dari kalkulasi matang dari diskusi stakeholder politik luar negeri kita di dalam negeri, atau lebih kepada hasil negosiasi dan pertemuan dalam hal ini Presiden Indonesia dengan counterpart di luar negeri," kata Waffaa saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (30/9) malam.
Dia juga mempertanyakan apakah posisi yang diambil saat ini sebagai upaya yang terkesan manut Amerika Serikat untuk menghindari jadi target Trump.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Lebih lanjut, Waffaa menyoroti paragraf awal dalam pernyataan bersama Indonesia, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Turki, Pakistan, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Pernyataan tersebut menekankan bahwa negara-negara ini menyambut baik usulan Trump untuk mengakhiri perang, membangun kembali Gaza, mencegah pengusiran warga Palestina dan memajukan perdamaian komprehensif, serta tak mengizinkan aneksasi Tepi Barat.
Waffaa menduga negara-negara itu merasa cukup puas dengan usulan Trump sekarang karena sebelumnya dia sempat mengusulkan untuk membangun kawasan elit di Gaza yang disebut Riviera Timur Tengah dan memindahkan secara paksa warga selama rekonstruksi berlangsung.
Para pakar dan sejumlah komunitas internasional memandang pemindahan paksa tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis dan menguntungkan Israel yang ingin menguasai secara penuh Palestina.
Usulan Trump dan dukungan negara-negara ini juga muncul saat dunia heboh dengan tarif impor tinggi yang diterapkan AS.
"Para pemimpin ini cukup puas lah ketika dengar worst case [situasi terburuk] enggak terjadi," ungkap Waffaa.
Dari perspektif power dan geopolitik, menurut Waffaa, tawaran dari AS dinilai cukup baik untuk Indonesia dan negara-negara Arab.
Namun, jika dilihat dari sisi keadilan, anti kolonialisme, tentu usulan dan dukungan tersebut "enggak memuaskan."
CNNIndonesia.com sudah menghubungi juru bicara Kementerian Luar Negeri untuk meminta tanggapan apakah pemerintah memandang tindakan Israel di Gaza sebagai kolonialisme/penjajahan. Namun, dia tak segera memberi komentar.
Jika usulan Trump betul-betul disepakati dan bakal dijalankan untuk Palestina, Waffaa memandang kondisi Gaza akan kembali seperti sebelum 7 Oktober 2023. Artinya, pasukan Palestina akan tetap bertengger di sana, Gaza jadi target, dan pencaplokan di Tepi Barat terjadi.
Dalam usulan Trump, salah satu poin berisi jika kedua pihak sepakat, perang akan berakhir. Pasukan Israel akan mundur sebagian untuk mempersiapkan pembebasan sandera.
Semua operasi militer, lanjut poin itu, akan ditangguhkan dan garis pertempuran bakal tetap di tempat hingga kondisi untuk "penarikan bertahap sepenuhnya" pasukan Israel terpenuhi.
Di poin selanjutnya, dalam waktu 72 jam usai Israel secara terbuka menerima proposal, semua sandera termasuk yang hidup dan mati akan dipulangkan.
Di kesempatan ini, Waffaa juga menyoroti pernyataan bersama RI dan negara Arab lain di paragraf selanjutnya. Mereka menegaskan usulan-usulan Trump bisa menciptakan jalan perdamaian yang adil bagi solusi dua negara.
Gaza bakal terintegrasi sepenuhnya dengan Tepi Barat dalam pendirian Negara Palestina sesuai hukum internasional sebagai kunci untuk mencapai stabilitas dan keamanan regional.
"Buat saya usulan Trump belum mengarah ke sini [stabilitas dan keamanan regional]," ungkap Waffaa.
Pakar lain yang juga dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, punya pandangan berbeda.
Dia menilai dukungan Indonesia dan negara-negara Arab untuk usulan Trump sudah tepat.
"Ya [tepat]. Jika, Saudi mendukung artinya ada titik kompromi disitu. Sebab inisiator Deklarasi New York adalah Saudi," kata Sya'roni.
Deklarasi New York merupakan hasil pertemuan konferensi tingkat tinggi internasional PBB tentang implementasi Solusi Dua Negara di New York pada 28-30 Juli 2025 yang diinisiasi Saudi dan Prancis.
Sebanyak 17 negara termasuk Indonesia dan Turki, seluruh anggota Liga Arab, dan seluruh negara anggota Uni Eropa meneken deklarasi tersebut. Kemudian pada awal September, deklarasi itu diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Deklarasi berisi dekatan penghentian agresi Israel di Gaza, dukungan pelucutan senjata Hamas,dukungan satu pemerintahan di Gaza dan Tepi Barat, hingga memuat peta jalan menuju solusi dua negara.
Jika Saudi dan negara yang terlibat dalam Deklarasi New York setuju dengan usulan Trump, maka Sya'roni memandang proposal itu bisa menjadi solusi jangka pendek agresi Israel di Palestina yang selama ini kerap buntu.