Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menilai perlu ada reorientasi kebijakan. Harapannya, program MBG tidak lagi terjebak pada seberapa banyak cakupan penerima.
Ia mendorong peningkatan kualitas sebagai indikator keberhasilan program makan bergizi. Eliza mewanti-wanti bakal muncul kasus keracunan baru, jika BGN hanya fokus mengejar kuantitas.
"Ini karena realisasi anggaran masih rendah hingga per September (2025), sehingga dikebut. Akhirnya, SPPG banyak yang gak sesuai SOP (standar operasional prosedur) dan belum memiliki SLHS (sertifikat laik higiene sanitasi). Karena dikebut inilah jadinya banyak SPPG yang sebetulnya secara infrastruktur dan SDM (sumber daya manusia) kurang memadai, dipaksakan memasak porsi ribuan," bebernya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari kejadian ini (keracunan) semestinya berbenah memperbaiki tata kelola. Dimulai dari validitas penerima manfaat, SPPG, monitoring evaluasi, dan model dapur yang jangan dipaksakan sentralisasi memproduksi 3.000-4.000 porsi," saran Eliza.
Menurut analisis Eliza, hanya 500 SPPG dari 8.583 SPPG yang menerapkan SOP. Itu karena dapur umum tersebut dibangun langsung oleh BGN. Sedangkan sisanya merupakan inisiatif swasta sehingga kualitasnya beragam, bahkan banyak tak patuh SOP.
Ia mewanti-wanti bahaya inefisiensi anggaran MBG. Terlebih, masih banyak temuan berupa foto atau laporan makanan siswa yang secara gizi dan kuantitas tidak seimbang.
Temuan gizi tidak seimbang, menurut Eliza, imbas penerapan sistem subkontraktor. Pada akhirnya, uang Rp10 ribu untuk satu porsi makan dipotong oleh pihak-pihak tertentu yang mengincar cuan dari MBG.
"Anggaran besar kalau tidak didukung dengan perbaikan tata kelola yang baik, ini akan terjadi inefisiensi; kesia-siaan anggaran; dan berpotensi jadi ladang korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) ... Daripada nanti sudah menelan anggaran besar, tapi multiplier effect-nya ke masyarakat tidak optimal, lebih baik diperbaiki dulu sistemnya. Evaluasi menyeluruh dulu, jangan asal mengejar target penerima dan realisasi anggaran," tuturnya.
"Gunakan anggaran untuk investasi pada SDM, program pelatihan standar untuk operator dapur. Dengan kurikulum yang mencakup keamanan pangan, higienitas, serta manajemen gizi perlu dirancang dan diimplementasikan secara konsisten," imbuh Eliza.
Selain itu, perlu ada pengawasan ketat. Mekanisme pengawasan MBG perlu melibatkan multipihak, yakni pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, dan lembaga jasa pemastian keamanan pangan.
Eliza menyebut pengawasan berbasis masyarakat melalui Komite Sekolah juga bisa menjadi lapisan kontrol tambahan. Platform digital pun perlu dikembangkan untuk menghubungkan seluruh pemangku kepentingan demi monitoring kerja dapur yang transparan.
(pta)