ANALISIS

Pedang Bermata Dua Dibalik Ganti Status Kementerian Jadi BP BUMN

Lidya Julita Sembiring | Parlando Indonesia
Selasa, 30 Sep 2025 08:04 WIB
Pembentukan BP BUMN harus memberi nilai tambah, tak cuma mengganti papan nama. Tantangan utama pemerintah merumuskan desain kelembagaan yang tepat.
Pembentukan BP BUMN harus memberi nilai tambah, tak cuma mengganti papan nama. Tantangan utama pemerintah merumuskan desain kelembagaan yang tepat. (Foto: Parlando Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, Parlando Indonesia --

Pemerintah memutuskan mengubah status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Badan Pengatur BUMN (BP BUMN), yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Keputusan ini memantik pro dan kontra. Sebab, perubahan ini tidak hanya soal kelembagaan, tetapi juga menyangkut masa depan tata kelola perusahaan pelat merah yang jumlahnya ratusan dan berperan strategis di berbagai sektor ekonomi.

Sejak kehadiran BPI Danantara sebagai superholding, fungsi Kementerian BUMN perlahan dianggap menyusut. Danantara kini menjadi pemegang saham utama dan pengelola operasional banyak BUMN. Konsekuensinya, posisi kementerian seakan kehilangan relevansi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi sebagian kalangan, perubahan status kementerian menjadi BP BUMN dinilai sebagai jalan tengah. Ada pula yang menilai langkah tersebut justru berisiko menciptakan birokrasi baru dan menghambat kinerja BUMN.

Dengan perubahan ini, ada dorongan menjadikan BUMN lebih profesional dan efisien, tetapi ada pula kekhawatiran akan lahir birokrasi baru yang memperlambat langkah. Tantangan utama bagi pemerintah adalah merumuskan desain kelembagaan yang tepat.

Pembentukan BP BUMN harus memberi nilai tambah, bukan sekadar mengganti papan nama. Jika Kementerian BUMN dihapus, mekanisme pengawasan tetap harus jelas agar tak terjadi kekosongan regulasi.

Yang jelas, arah kebijakan ini akan sangat menentukan masa depan BUMN sebagai penopang ekonomi nasional. Dengan aset triliunan rupiah dan jutaan pekerja yang bergantung pada perusahaan pelat merah, keputusan ini tidak boleh diambil tergesa-gesa.

Pengamat BUMN dari NEXT Indonesia Center Herry Gunawan sangat skeptis dengan perubahan status kementerian BUMN. Apalagi, ia melihat tidak ada urgensi membentuk BP BUMN. Sebaiknya, Kementerian BUMN sekalian dihilangkan saja.

"Kementerian ini seharusnya dihapus saja, karena urusan bisnis BUMN sudah ditangani Danantara," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Ia juga mengingatkan bahwa sesuai UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025, perusahaan milik negara kini dikategorikan sebagai badan privat, bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan.

Dengan definisi baru itu, seharusnya BUMN tunduk pada regulasi umum seperti perusahaan swasta lain, misalnya aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), atau Kementerian Keuangan. Jadi, tak perlu BP BUMN sebagai regulator khusus. Keberadaan regulator khusus justru dikhawatirkan menghambat kelincahan.

"BUMN bisa kembali seperti dulu, penuh intervensi dan birokrasi. Padahal tujuan perubahan UU adalah agar BUMN lebih efisien," katanya.

Ia juga menyoroti rancangan RUU BUMN yang dinilai kontradiktif. Di satu sisi, menteri dan wakil menteri (wamen) dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Namun, pejabat eselon justru diperbolehkan duduk sebagai komisaris.

Bagi investor global yang mengutamakan prinsip tata kelola, situasi tersebut bisa menurunkan minat kerja sama dengan BUMN Indonesia. Apalagi jika intervensi politik masih kuat.

"Ini benturan kepentingan, mereka regulator, tapi juga operator. Investor asing pasti was-was melihat praktik seperti ini. Kondisi ini akan membuat investor tentu berpikir dua kali," kata Herry.

Selain itu, ia memperingatkan soal implikasi hukum jika BUMN kembali diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), manajemen akan kehilangan ruang untuk mengambil keputusan bisnis secara cepat.

"Business judgement rule tidak bisa lagi digunakan. Setiap kerugian bisa dianggap tindak pidana, padahal bisnis selalu mengandung risiko," jelasnya.

Kondisi ini, menurut Herry, dapat membuat pengelola BUMN ragu melangkah. Aksi korporasi penting bisa tertunda, karena semua takut delik korupsi. "Akhirnya, BUMN berjalan lambat," tambahnya.

Pengamat BUMN Toto Pranoto memandang pembentukan BP BUMN justru sebagai langkah efisiensi. Sebab, Badan dinilai akan lebih fokus dalam menjalankan penugasannya.

"Dengan UU Nomor 1 Tahun 2025, fungsi Kementerian BUMN semakin terbatas, maka organisasi sebesar kementerian tidak lagi diperlukan. Badan baru bisa menjadi pengganti," katanya.

Menurut Toto, tujuan lainnya adalah meningkatkan kualitas tata kelola. Apalagi, Kementerian BUMN sering diasosiasikan dengan birokrasi berbelit, intervensi politik, dan praktik tata kelola buruk. Oleh sebab itu, dengan perubahan menjadi BP BUMN, citra itu dinilai bisa dihapus. Perubahan ini juga bisa dianggap sebagai proses debirokratisasi dan depolitisasi.

"Harapannya, BUMN lebih fokus pada bisnis, bukan politik. Tapi badan baru ini harus benar-benar kredibel, baik sebagai regulator maupun pemegang saham seri A," jelasnya.

Toto menekankan, BP BUMN harus mampu menjalankan fungsi vital, mulai dari penugasan pelayanan publik (PSO), privatisasi, pembubaran, hingga pengaturan tata kelola. Termasuk fungsi RUPS untuk menelaah rencana kerja Danantara, itu harus dilakukan dengan formula yang tepat.

Namun, Toto mengingatkan keberhasilan BP BUMN untuk perbaikan pada kelola seluruh perseroan sangat bergantung pada figur pengisi lembaga tersebut. Ia berharap pejabat yang ditunjuk betul-betul kompeten.

"BP BUMN harus diisi orang-orang berintegritas, paham arah bisnis, dan mampu menjaga independensi. Kalau tidak, perubahan hanya jadi kosmetik," ujarnya.

[Gambas:Video CNN]

(pta)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER