Kerusuhan Guncang Kashmir Pakistan, 10 Orang Tewas Ratusan Terluka

Parlando Indonesia
Senin, 06 Okt 2025 11:07 WIB
Polisi tembak gas air mata saat kerusuhan di Muzaffarabad, Kashmir bagian Pakistan. Foto: AFP/STR
Jakarta, Parlando Indonesia --

Wilayah Kashmir bagian Pakistan (PoK) dilanda gelombang kerusuhan besar setelah Komite Aksi Rakyat (AAC) menyerukan aksi mogok tanpa batas waktu.

Aksi ini dipicu lonjakan harga tepung dan listrik, serta tuntutan pembubaran 12 kursi legislatif yang dialokasikan bagi pengungsi Kashmir di Pakistan.

Protes yang merebak di berbagai kota ini menyoroti masalah sosial-ekonomi mendalam dan kelalaian pemerintah Pakistan terhadap rakyat PoK.

Sedikitnya 10 orang tewas dan lebih dari 100 lainnya terluka dalam bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan Pakistan di sejumlah wilayah. Insiden paling mematikan terjadi di Dhirkot, distrik Bagh, di mana aparat dilaporkan menembaki massa hingga menewaskan empat orang.

Dua kematian lain tercatat di Dadyal dan Mirpur, sementara sisanya di Muzaffarabad dan Chamyati dekat Kohala. Ribuan warga kini bergabung dalam long march menuju ibu kota Muzaffarabad, menuntut keadilan ekonomi dan politik serta menentang dominasi Islamabad atas wilayah mereka.

Kemarahan publik ini berakar dari krisis ekonomi yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.

Harga tepung, bahan pokok utama di Kashmir, melonjak tajam, sementara tarif listrik tetap tinggi meski PoK menjadi lokasi sejumlah proyek besar pembangkit listrik tenaga air, seperti Bendungan Mangla.

Penghapusan 12 kursi legislatif

Ironisnya, wilayah yang menghasilkan listrik dalam jumlah besar bagi Pakistan justru menghadapi pemadaman rutin dan tarif tanpa subsidi. AAC menilai kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural dan menuntut subsidi tepung serta tarif listrik yang wajar bagi warga PoK.

Upaya dialog antara pimpinan AAC dan pemerintah PoK gagal membuahkan hasil konkret, memicu aksi mogok besar-besaran yang melumpuhkan aktivitas ekonomi di sejumlah kota. Pasar, sekolah, dan transportasi umum berhenti total, sementara massa turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.

Menanggapi situasi tersebut, otoritas Pakistan mengerahkan pasukan paramiliter dalam jumlah besar dan memberlakukan pembatasan komunikasi, termasuk pemadaman internet dan layanan seluler untuk menghambat koordinasi massa. Pendekatan represif ini menuai kecaman karena dinilai mengulangi pola lama penindasan terhadap aspirasi rakyat PoK.

Salah satu tuntutan paling sensitif dari AAC adalah penghapusan 12 kursi legislatif di Majelis PoK yang diperuntukkan bagi pengungsi Kashmir yang tinggal di Pakistan.

Kursi itu dibentuk melalui Amandemen ke-13 pada 2018 dan dianggap warga sebagai instrumen kendali Islamabad terhadap politik lokal.

AAC menilai sistem tersebut mengikis representasi politik warga PoK dan memperpanjang marginalisasi mereka. Para pengamat menyebut kebijakan ini membuat pemerintahan lokal sekadar menjadi "perpanjangan tangan" pemerintah pusat, bukan cerminan kehendak rakyat.

Gelombang ketidakpuasan

Gerakan yang dipimpin AAC bukan sekadar protes ekonomi, tetapi juga ekspresi frustrasi atas ketimpangan politik yang sudah berlangsung puluhan tahun.

"Aksi ini bukan melawan institusi tertentu, melainkan untuk menegakkan hak-hak dasar yang diabaikan selama lebih dari tujuh dekade," ujar Shaukat Nawaz Mir, pemimpin AAC. Pernyataannya mencerminkan kelelahan kolektif warga PoK terhadap janji reformasi dan pembangunan yang tak pernah terwujud.

Kerusuhan yang meluas di PoK memperlihatkan jurang yang semakin dalam antara rakyat dan pemerintah Pakistan.

Janji-janji peningkatan ekonomi dan pemberian hak politik yang lebih luas masih sebatas retorika, sementara tindakan keras justru menjadi respons terhadap suara rakyat. Ketegangan ini menandai krisis legitimasi bagi Islamabad di wilayah yang secara strategis penting, baik secara geopolitik maupun simbolis.

Krisis di PoK kini telah mencapai titik kritis. Jika tuntutan rakyat terus diabaikan, gelombang ketidakpuasan bisa meluas menjadi gerakan yang lebih besar dan berpotensi mengguncang stabilitas Pakistan sendiri.

Bagi Islamabad, mendengarkan aspirasi rakyat PoK melalui dialog dan reformasi nyata menjadi langkah mendesak untuk mencegah keruntuhan tata kelola dan kepercayaan publik.

Hingga itu terjadi, aksi mogok dan protes kemungkinan besar akan terus berlanjut, mencerminkan jarak yang semakin lebar antara aspirasi rakyat PoK dan kebijakan pemerintah Pakistan yang enggan berubah.

(dna)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK