Pelan-pelan kami melaju menuju tengah area danau. Amboi, hanya ada hamparan air danau yang luas, karamba, gunung, dan kabut sejauh mata memandang. Maklum, luasnya mencapai 2.670 hektare. Saking luasnya, saya merasa tak sedang berlayar di danau, melainkan di laut.
Awan-awan itu perlahan bergerak sedikit menjauh dari gunung. Dari sana, puncak-puncak gunung mulai dari Ungaran, Telomoyo, dan Merbabu terlihat jelas.
Sesekali, saya bertemu dengan nelayan bertopi caping yang mendayung sembari berdiri di atas kayak. Saat dua nelayan kebetulan berpapasan, mereka saling bertegur sapa, dan mungkin saling bertanya, "Berapa ikan yang didapat hari ini?"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puas menikmati ketenangan di atas danau, saya kembali melanjutkan perjalanan menggapai Congyang. Saya pilih jalur Ambarawa, agar bisa mampir sebentar ke Museum Kereta Api dan menaiki kereta api tua.
Namun, di tengah jalan saya mendadak dibuat penasaran oleh bangunan benteng tua yang teronggok lesu di tengah area sawah.
Mencari tahu berselancar di dunia maya, saya tahu kalau itu adalah Benteng Pendem Ambarawa atau dikenal juga Fort Willem I. Seketika saya dibuat terpesona oleh benteng yang termakan usia itu.
Lokasinya berada di Kelurahan Lodong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Mencari cara dengan bertanya pada warga, saya mendapatkan jalur masuk melalui Kampung Bugisan-berdekatan dengan RSUD Ambarawa-yang lokasinya tak jauh dari pintu benteng.
Benteng Pendem Ambarawa dibangun pada 1843 dan rampung pada 1845 silam. Sejak 1950 hingga saat ini, sebagian benteng difungsikan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Ambarawa.
Penasaran bukan main saya dengan bangunan reyot itu.
 Benteng Pendem Ambarawa. (Parlando Indonesia/Hesti Rika) |
Setibanya di depan gerbang, yang tampak hanyalah bangunan lusuh dengan dinding-dinding yang sudah mengelupas rapuh. Dari sini terlihat pula pakaian-pakaian basah yang dijemur di pinggir jendela lantai dua. Itu adalah penanda bahwa di sana ada kehidupan.
"Ini [Benteng Pendem Ambarawa] memang jadi tempat tinggal orang-orang lapas," ujar salah seorang warga yang saya temui. Mereka tinggal di lantai dua bangunan. Oleh sebab itu pula, pengunjung dilarang mengambil gambar di area lantai dua.
Ironi, sesungguhnya, saat mengetahui bahwa bangunan yang sudah tak manusiawi dan hampir hancur ini menjadi tempat tinggal manusia.
Benteng ini menjadi salah satu peninggalan era kolonial Belanda di Ambarawa. Kehadiran benteng tak lepas dari pembangunan Stasiun Ambarawa.
Benteng ini pernah menjadi markas dan gudang logistik Belanda terbesar di Jawa Tengah pada masanya. Saat Jepang datang, benteng ini sempat diambil alih sebagai kamp militer.
Kondisi benteng masih dipertahankan sebagaimana aslinya sejak lebih dari satu abad silam. Rerumputan menjalar di hampir seluruh dinding benteng, menambah suasana menyeramkan yang terasa. Belum lagi burung-burung walet yang beterbangan di atas area benteng.
 Benteng yang telah berdiri sejak tahun 1845. (Parlando Indonesia/Hesti Rika) |
Puas dengan rasa penasaran, saya kembali ke tujuan awal: naik kereta api tua.
Museum Kereta Api berada di Jalan Stasiun Ambarawa. Beberapa gerbong kereta tua terpajang di area luar ruangan museum. Siapa pun bebas masuk ke dalamnya.
Tujuan lancong yang satu ini terbilang ramai. Betapa tidak, untuk masuk ke dalamnya, pengunjung hanya ditarik duit tiket seharga Rp10 ribu.
Untuk mendapatkan pengalaman jalan-jalan naik kereta tua ini setiap orang ditarif sebesar Rp 50ribu. Duit itu digunakan untuk perjalanan pulang pergi Stasiun Ambarawa-Stasiun Tuntang dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan.
Jalur kereta wisata ini hanya beroperasi pada akhir pekan dan hari libur nasional.
Museum Kereta Api Ambarawa. (Parlando Indonesia/Hesti Rika) |
Bangku penumpang terasa keras. Penumpang hanya dipersilakan duduk di bangku kayu yang pasti terasa keras di pantat.
Saat peluit berbunyi dan kereta melaju, saya membayangkan masa silam, saat meneer-meneer berambut pirang dengan gaun dan setelah jasnya beramai-ramai menaiki kereta yang saya tumpangi.
Kereta bergerak melintasi jalan-jalan kecil Ambarawa. Perlahan, pemandangan serba hijau pun hadir sejauh mata memandang. Ditambah lagi dengan lanskap Rawa Pening yang kebetulan dilalui jalur kereta.
Dari kereta, lanskap nelayan-nelayan yang mengayuh kayak tampak di depan mata. Belum lagi sekumpulan warga lokal yang berkumpul di rumah-rumah apung di atas permukaan danau yang menyapa setiap penumpang.
Setibanya di Stasiun Tuntang, kereta beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Stasiun Ambarawa.
 Wisata kereta yang diramaikan oleh pengunjung keluarga. (Parlando Indonesia/Hesti Rika) |
Penjelajahan penulis untuk menemukan congyang di Semarang masih berlanjut ke halaman berikutnya...