Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi menyarankan para pengusaha mengikuti arahan Presiden Prabowo. Pekerjaan rumah aplikator saat ini tinggal menyiapkan formula yang tepat untuk bonus tersebut.
Heru menekankan tak ada besaran pasti berapa bonus uang tunai yang mesti diberikan. Angkanya tergantung kebijakan masing-masing platform.
Namun, Heru menyebut nominalnya bisa mengacu pada berapa pendapatan rata-rata yang diterima mitra selama ini. Itu bisa dijadikan patokan berapa yang harus dibayarkan aplikator kepada setiap driver.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang ke depan persoalan ini tidak cukup dengan surat edaran, sehingga perlu ditingkatkan (kekuatan hukumnya). Sifatnya (surat edaran) kan tidak mengikat, seperti edaran dari ketua rukun tetangga (RT) untuk kerja bakti yang tidak ada sanksi," tuturnya.
"Oleh karena itu, transportasi online memang harus jadi ketentuan yang jelas dalam revisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang saat ini dalam pembahasan di DPR," tambah Heru.
Menurutnya, kebijakan pemberian bonus untuk sementara ini tepat dibandingkan harus 'memaksa' memberi THR. Ia menekankan status driver ojol masih mitra dan kedudukannya belum jelas di undang-undang.
Ia menilai bonus uang tunai juga tak bakal merugikan platform. Pasalnya, setoran para driver selama ini juga besar dan menjadikan perusahaan aplikasi itu menguasai pasar tanah air.
Ketua Umum Garda Indonesia Igun Wicaksono meminta aplikator memberikan bonus uang tunai dengan nominal di atas Rp300 ribu. Menurutnya, angka yang cukup oke adalah di kisaran Rp500 ribu per orang.
"Itu (bonus Rp500 ribu) mungkin sedikit membantu teman-teman pengemudi, jangan nilainya cuma sekadarnya saja," kata Igun.
Sedangkan perhitungan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar beberapa waktu lalu adalah di kisaran Rp1,5 juta sampai Rp2 juta. Nominal itu diklaim sudah layak, mengingat proses untuk mempermanenkan kebijakan bonus perlu dilakukan bertahap.
Di lain sisi, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Aloysius Uwiyono menegaskan hubungan kemitraan memang menjadi masalah utama polemik THR ojol. Hubungan kerja ini membuat mitra pengemudi lebih leluasa dalam menentukan jam kerja, menerima atau menolak pesanan, serta bekerja untuk lebih dari satu platform.
"Jika kebijakan ini (THR) dipaksakan pada hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum karena mitra pengemudi tersebut bukanlah pekerja tetap. Sehingga penetapan THR bagi mitra pengemudi ini bertentangan dengan hukum yang berlaku," tegasnya.
"Oleh karenanya, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang," sambung Aloysius.
Aloysius berharap pemerintah tetap fokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum. Namun, tak perlu melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi.
(pta)