Marak Kasus Keracunan, Kenapa Pemerintah Ogah Setop Sementara MBG?
Kasus keracunan akibat mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Muncul desakan agar pemerintah Prabowo Subianto setop sementara MBG di tengah ribuan anak yang sudah menjadi korban.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana membeberkan total ada 6.517 orang menjadi korban keracunan akibat mengkonsumsi MBG sejak diluncurkan pada Januari 2025.
Rinciannya 1.307 korban di wilayah I atau Pulau Sumatera, 4.207 korban untuk wilayah pemantauan II atau Pulau Jawa dan 1.003 korban untuk wilayah pemantauan III atau Indonesia bagian timur.
Dadan mengungkap penyebab maraknya kasus siswa keracunan usai mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam dua bulan terakhir dipicu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP).
Ia lantas mencontohkan dalam beberapa kasus keracunan MBG disebabkan pihak SPPG membeli bahan baku sejak H-4 pengolahan. Padahal, aturan yang ditetapkan mewajibkan pembelian bahan baku pada H-2.
Selain itu, Dadan menyebut dari hasil investigasi di Bandung, Jawa Barat, ditemukan juga proses memasak hingga pengiriman yang melewati ketentuan hingga lebih dari 6 jam.
"Optimalnya di 4 jam (durasi memasak ke pengiriman). Seperti di Bandung itu ada yang memasak dari jam 9 dan kemudian di delivery-nya ada yang sampai jam 12, ada yang jam 12 lebih," tuturnya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10).
Sebagai tindak lanjut, Dadan menyebut Presiden Prabowo akan mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Makan Bergizi. Perpres tersebut tengah dirancang dan ditargetkan rampung pekan ini.
Di tengah maraknya kasus keracunan MBG ini, kemudian muncul desakan agar program tersebut dihentikan sementara. Namun, hingga saat ini pemerintah tidak mengambil langkah untuk menghentikan sementara, melainkan melakukan evaluasi.
Lantas mengapa pemerintah tidak mau menghentikan sementara pelaksanaan program MBG?
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Pamulang, Cusdiawan mengatakan pemerintah memiliki pandangan yang salah dalam melihat jumlah korban keracunan MBG. Bahkan, menurutnya, kesalahan pandangan ini sudah mengarah ke dehumanisasi.
"Ini dibuktikan dengan memandang manusia seolah terbatas pada angka statistik belaka. Dari latar belakang inilah, pemerintah cenderung memandang program masih berjalan baik karena mengacu pada data jumlah korban keracunan yang kurang dari 1 persen," kata Cusdiawan kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/10).
Tidak sensitif
Cusdiawan menyebut langkah pemerintah ini tidak tepat, karena tidak menunjukkan sensitivitas terhadap korban dan keluarga. Selain itu, juga menciderai martabat kemanusiaan itu sendiri.
"Harusnya, satu nyawa saja yang terancam harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga," ujarnya.
Cusdiawan mengatakan saat ini pemerintah juga cenderung antikritik. Ini dibuktikan dengan gaya komunikasi dari pihak istana yang cenderung defensif dalam menanggapi kritik publik terkait keracunan massal MBG.
Alasan lainnya adalah karena MBG merupakan salah satu program unggulan dan prioritas Prabowo. Hal inilah yang mendasari mengapa pemerintah enggan mengikuti desakan publik untuk menghentikan sementara program tersebut.
"Besar kemungkinan dalam pandangan mereka, penghentian MBG akan dipandang merusak kewibawaan mereka di depan publik," ucap Cusdiawan.
"Padahal sebaliknya, saat mereka secara terbuka akan melakukan evaluasi kebijakan secara total, justru bisa mengundang simpati publik. Termasuk menghentikan sementara ketika dalam pelaksanaan program tersebut tidak ada jaminan keselamatan dan tidak ada perbaikan yang signifikan terkait tata kelolanya," sambungnya.
Senada, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI) Ali Rifan menyebut MBG merupakan program unggulan dari Prabowo. Selain itu, MBG juga merupakan salah satu janji politik Prabowo saat masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
"MBG merupakan janji politik Prabowo saat kampanye, sehingga janji tersebut harus ditunaikan," ucap dia.
Kata Ali, di balik maraknya kasus keracunan, tak bisa dipungkiri MBG merupakan yang dibuat pemerintah dengan tujuan salah satunya meningkatkan kualitas SDM Indonesia sehingga diharapkan bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Apalagi, saat ini indeks pembangunan manusia dan tingkat produktivitas SDM di Indonesia masih rendah.
"Kalau menurut saya, untuk kasus MBG ini, persoalannya harus diselesaikan, lalu dilanjutkan. Karena memang MBG ini pondasi untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia di masa mendatang. MBG bukan soal makan saja, tapi soal keberpihakan terhadap pembangunan manusia Indonesia. Sehingga problem-problem dalam implementasi MBG harus segera diatasi," ujarnya.
Cuma fokus kuantitas
Sementara itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyebut selama ini pemerintah selalu menilai program MBG ini sukses. Hal ini lantaran pemerintah hanya berfokus pada faktor kuantitas semata, artinya hanya menyorot pada jumlah penerima manfaat MBG yang jumlahnya terus bertambah.
Trubus menduga maraknya kasus keracunan MBG di berbagai daerah ini, bisa saja hanya dianggap sebagai sebuah risiko dari sebuah kebijakan yang diambil.
"Pemerintah menganggap program MBG itu sukses, bahwa di situ ada keracunan, itu bagian dari risiko kebijakan. Jadi pemerintah itu punya asumsi bahwa sebuah kebijakan itu tidak akan sempurna, tidak bisa memuaskan semua pihak, intinya kebijakan itu lebih ke kuantitas. Jadi, kalau kuantitas itu tercapai ya itu dia enggak berpikir kualitasnya," tutur Trubus.
Kendati demikian, Trubus menilai menghentikan sementara program MBG ini bukan opsi yang tepat. Pasalnya, untuk program MBG itu sudah dianggarkan.
"Enggak mungkin kalau kita setop, itu uangnya jadi ke mana-mana, enggak akan balik ke negara atau ke kepentingan publik lainnya. Jadi istilahnya orang nyebrang sungai ya sudah basah," kata dia.
"Jadi lebih baik sekarang SPPG itu satu tata kelolanya dikendalikan, jadi pengawasan, misalnya dia hanya menangani 500 piring saja atau dikembalikan ke sekolah, tanggung jawab kepala sekolah, ada komite sekolah libatkan, orang tua dan masaknya di sekolah, dapur SPPGnya ya sekolah itu," imbuhnya.