ICW: Jumlah Kasus Korupsi Diusut pada 2024 Terendah 5 Tahun Terakhir

Parlando Indonesia
Rabu, 01 Okt 2025 05:30 WIB
ICW menyatakan 2024 menjadi tahun terendah penindakan kasus korupsi oleh APH, dengan 364 kasus dan 888 tersangka. Transparansi dan pengawasan dinilai minim.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan tahun 2024 menjadi titik terendah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menindak kasus korupsi dalam lima tahun terakhir. (Parlando Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, Parlando Indonesia --

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan tahun 2024 menjadi titik terendah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menindak kasus korupsi dalam lima tahun terakhir.

Hal itu disampaikan Peneliti ICW Zararah Azhim Syah dalam konferensi pers 'Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024' di Rumah Resonansi ICW, Jakarta, Selasa (30/9).

"Jumlah perkara dan tersangka yang ditindak aparat penegak hukum justru menurun dan tercatat sebagai yang terendah dalam kurun lima tahun terakhir," ujar Azhim dalam konferensi pers.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Azhim menuturkan ICW mencatat ada sebanyak 364 kasus tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 888 orang pada tahun 2024.

Potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp279,9 triliun, angka yang secara signifikan dipengaruhi oleh kasus korupsi tata niaga komoditas Timah di lingkungan PT Timah Tbk dengan kontribusi 96,8 persen dari total kerugian tersebut. Kasus tersebut ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Sementara untuk potensi suap-menyuap sejumlah Rp157 miliar, pungutan liar dan pemerasan Rp31,85 miliar, dan pencucian uang Rp172,2 miliar.

Pada tahun 2020, ICW mencatat ada sebanyak 444 kasus tindak pidana korupsi dengan 875 tersangka. Satu tahun berikutnya, APH menangani 533 kasus dengan 1.173 tersangka.

Di tahun 2022, ada 579 kasus dengan 1.396 tersangka yang diproses hukum. Selanjutnya di tahun 2023 ada 791 kasus yang diusut APH dengan total tersangka mencapai 1.695 orang.

Azhim mengatakan kondisi tersebut menjadi ironis karena penerapan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur pengenaan uang pengganti tidak dijadikan instrumen utama dalam memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi.

"Padahal, kedua instrumen ini penting untuk memperluas ruang pemulihan aset hasil kejahatan. Minimnya penggunaan menunjukkan bahwa strategi penindakan lebih berfokus pada penghukuman pelaku ketimbang pemulihan kerugian negara," kata Azhim.

Azhim bilang penurunan kinerja APH satu di antaranya disebabkan oleh banyak satuan kerja dari Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, Kepolisian Daerah, dan Kepolisian Resor yang sama sekali tidak menangani kasus tindak pidana korupsi.

"Kondisi ini diperburuk oleh minimnya transparansi APH dalam membuka data penanganan perkara kepada publik. Ketiadaan akses informasi yang memadai menyebabkan masyarakat tidak memiliki basis yang cukup untuk mengevaluasi kinerja penindakan, sehingga akuntabilitas kelembagaan semakin lemah," ucap dia.

Ditinjau lebih jauh, Azhim mengatakan distribusi kasus tindak pidana korupsi pada tahun 2024 memperlihatkan kerentanan yang tinggi pada sektor yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat.

Dia merinci kasus di sektor desa menempati urutan tertinggi dengan 77 kasus dan 108 tersangka, diikuti sektor utilitas 57 kasus 198 tersangka, kesehatan 39 kasus 104 tersangka, dan pendidikan dengan 25 kasus dan 64 tersangka.

Pola berulang terlihat dari kasus korupsi desa yang konsisten menempati posisi teratas sejak adanya kebijakan dana desa pada 15 Januari 2015.

Selain itu, kata Azhim, sektor pendidikan tidak pernah keluar dari lima besar dalam satu dekade terakhir. Hal itu menegaskan ketiadaan perbaikan signifikan sekaligus kegagalan pengawasan yang terus berulang pada sektor-sektor tersebut.

Sementara dari sisi aktor, pelaku dominan berasal dari pegawai pemerintah daerah sejumlah 261 tersangka, pihak swasta 256 tersangka, serta kepala desa 73 tersangka, dengan catatan bahwa keterlibatan swasta menyumbang kerugian negara paling besar.

"Fakta ini menyingkap rapuhnya desain pencegahan korupsi dan mekanisme pengawasan di sektor privat," ungkap Azhim.

Teknik pengumpulan data

Azhim menjelaskan laporan tersebut disusun berdasarkan kompilasi kasus tindak pidana korupsi yang telah masuk tahap penyidikan dan telah terdapat penetapan tersangka. Informasi yang dihimpun mencakup deskripsi singkat kasus, identitas tersangka (nama lengkap atau inisial), latar belakang profesi atau jabatan, serta estimasi nilai kerugian negara, suap, pungutan liar, dan aset yang diduga disamarkan melalui praktik pencucian uang.

Sumber data utama berasal dari publikasi resmi lembaga penegak hukum, yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian dilengkapi dengan pemberitaan media massa nasional maupun lokal.

Dalam menggunakan pemberitaan media daring, ICW menerapkan sejumlah kriteria seleksi untuk menjaga akurasi dan kredibilitas data. Media yang dijadikan rujukan adalah media yang memiliki rekam jejak profesional, berbadan hukum, dikelola oleh redaksi yang jelas, dan konsisten mematuhi prinsip-prinsip jurnalisme.

Selain itu, ICW mengutamakan media yang kredibel secara nasional maupun lokal, bukan blog atau media yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber dan keberadaannya. Untuk menjamin validitas dan konsistensi informasi, setiap kasus yang dipantau minimal diverifikasi melalui tiga sumber pemberitaan media daring yang berbeda.

(fra/ryn/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER