Target Iklim China Terancam Gagal jika Ekspansi Batu Bara Berlanjut

Parlando Indonesia
Senin, 29 Sep 2025 04:44 WIB
Ilustrasi. Foto: istockphoto/ Rawpixel
Jakarta, Parlando Indonesia --

Pemerintah China telah merilis obligasi hijau berdaulat di Bursa Efek London yang disebut-sebut sebagai tonggak penting dalam pembiayaan berkelanjutan.

Langkah ini digadang-gadang akan menarik modal global ke sektor hijau China sekaligus memperkuat kerja sama dengan Eropa. Namun, di balik sorotan gemerlap itu, terdapat kontradiksi besar.

Sepanjang 2024 saja, Beijing menyetujui dan memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dengan kapasitas total 94,5 gigawatt-angka tertinggi sejak 2015.

Ekspansi agresif terhadap bahan bakar paling kotor di dunia ini berbanding terbalik dengan janji iklimnya dan memperlihatkan kesenjangan antara citra internasional dan realitas domestik.

Pada paruh pertama 2025, China melesat jauh di depan negara lain dalam pengembangan batu bara, baik dari sisi proposal baru, proyek konstruksi, maupun pembangkit yang mulai beroperasi, menurut pemantauan Global Energy Monitor (GEM).

Negara ini mengajukan 74,7 GW proyek batu bara baru, hampir tujuh kali lipat dari gabungan negara lain yang hanya 11 GW, dan memulai pembangunan 46 GW, mendekati rekor 97 GW pada 2024.

Laporan bersama GEM dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyoroti sejumlah provinsi kaya batu bara seperti Xinjiang, Jiangsu, Mongolia Dalam, Shandong, Shaanxi, Hunan, Anhui, dan Guangdong sebagai motor utama ekspansi. Dorongan ini diperkuat proses perizinan yang dipermudah, dukungan utilitas lokal, dan aliran investasi yang stabil.

Sementara itu, energi batu bara masih menyumbang sekitar 60% konsumsi listrik China, lebih dari dua kali rata-rata global, meski negara tersebut juga memimpin dunia dalam pemasangan energi surya, angin, kendaraan listrik, dan program reforestasi.

Ketergantungan ini bukan sekadar strategi energi, melainkan persoalan struktural. Di provinsi-provinsi seperti Shanxi, Shaanxi, dan Mongolia Dalam, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan penerimaan fiskal sangat bergantung pada batu bara, menciptakan hambatan politik dan ekonomi untuk beralih ke energi bersih.

Ketegangan antara ambisi hijau pemerintah pusat dan kepentingan ekonomi daerah juga menyebabkan kebijakan nasional sering kali dilaksanakan setengah hati.

Jaringan listrik yang usang dan tidak merata semakin memperparah masalah. Energi terbarukan yang melimpah di wilayah barat kesulitan disalurkan ke pusat industri di timur karena keterbatasan transmisi dan kapasitas penyimpanan. Selama masalah ini tak teratasi, batu bara akan tetap menjadi penopang utama sistem energi.

GEM menilai, kebijakan hijau China hanya akan kredibel jika disertai pergeseran nyata dari batu bara ke energi terbarukan. Obligasi hijau tidak akan berarti jika dananya disalurkan ke proyek "clean coal" atau diberi label transisi yang kabur.

Reformasi jaringan listrik, penguatan standar efisiensi energi, dan transparansi pembiayaan menjadi langkah kunci agar komitmen iklim Beijing tidak sekadar retorika.

(dna)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK