Jakarta, Parlando Indonesia --
Aktivis hak asasi manusia, Issa Amro, sempat ditangkap aparat keamanan Palestina pada pekan lalu. Ia merupakan satu dari beberapa aktivis yang baru-baru ini ditahan otoritas Palestina.
Dalam tahanan, Amro mengaku teringat akan nasib kerabatnya, Nizar Banat, yang meninggal dunia saat ditangkap aparat keamanan Palestina pada Kamis pekan lalu.
Sama seperti Amro, Banat merupakan salah satu aktivis yang kerap mengkritik pemerintah Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas. Keduanya sama-sama berasal dari Hebron, Tepi Barat, yang juga menjadi wilayah permukiman ilegal Yahudi Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banat dan Amro terkenal kerap mengecam pendudukan wilayah Palestina oleh Israel, tetapi juga mengkritik pemerintah Palestina yang dinilai korup dan banyak melakukan pelanggaran lainnya.
Banat meninggal dunia saat aparat keamanan menggerebek tempat tinggal dan menangkapnya.
Pihak berwenang Palestina tak menjelaskan alasan penangkapan pria 43 tahun itu. Namun, pihak keluarga mengklaim Banat tewas akibat dipukuli aparat.
Kematian Banat pun memicu amarah protes warga Palestina di Tepi Barat yang masih diduduki oleh Israel sejak 1967. Meski otoritas Palestina berjanji menyelidiki kematian Banat, kerabat dan keluarganya tidak akan mempercayai hasil investigasi tersebut.
Amro dan sebagian aktivis lainnya menuding kematian Banat menggambarkan upaya otoritas Palestina yang semakin kejam membungkam pengkritik dan perbedaan pendapat.
"Ketika mereka (aparat Palestina) secara paksa menahan saya dengan tuduhan tak berdasar, saya merasa mereka berencana menyingkirkan kami," kata Amro kepada AFP.
"Ketika saya berada di dalam tahanan, saya teringat rekan saya Nizar. Saya merasa mereka (aparat) berencana membunuhnya, mereka menggunakan kekerasan untuk membungkamnya," paparnya menambahkan.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
[Gambas:Video CNN]
Amro dibebaskan beberapa hari setelah ditahan. Meski kerap menjadi target aparat, Amro mengaku tidak kapok menjadi aktivis di Palestina.
Pria 41 tahun itu menganggap aktivis di Tepi Barat merupakan pekerjaan yang genting.
"Lingkungan ini tidak aman bagi saya. Saya takut terbunuh tetapi saya tidak akan berhenti," ucapnya.
Amro mengaku dia pernah disiksa selama sepekan mendekam di tahanan pada 2017. Saat itu, ia mengaku dipukuli dan dikurung di sebuah ruangan kecil, dilarang menemui kuasa hukum, dan bahkan diancam akan dipenggal kepalanya oleh aparat Palestina.
"Saya terhubung dengan komunitas internasional, dan suara saya mencapai anggota parlemen di seluruh dunia," katanya.
"Mereka (otoritas Palestina) tidak menginginkan hal itu. Mereka ingin menjadi satu-satunya suara bagi rakyat Palestina," kata Amro berupaya menjelaskan mengapa dia menjadi sasaran pemerintah Palestina.
Amro menegaskan bahwa dia memiliki tanggung jawab untuk melaporkan dan membahas pelanggaran yang dilakukan pejabat Palestina.
"Jika Mahmud Abbas (memimpin) kediktatoran, saya harus membicarakannya," katanya. Saya harus berbicara tentang tahanan politik," ujar Amro.
Pada 2017, kelompok HAM Human Rights Watch yang berbasis di New York menyebut pemerintah Palestina bersalah atas "penahanan sewenang-wenang" dan "praktik penyiksaan secara sistematis" terhadap tahanan.
HRW bahkan menuturkan perilaku pemerintah Palestina itu bisa jadi mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Presiden Mahmoud Abbas memimpin Palestina sejak 2005. Jabatannya seharusnya berakhir pada 2009 lalu, tetapi dia berulang kali menolak mengadakan pemilihan umum.
Abbas juga baru-baru ini membatalkan pemilu yang dijadwalkan pada Mei dan Juli tahun ini. Ia membatalkan pemilu dengan alasan Israel menolak menjamin pemungutan suara di wilayah pendudukan di Yerusalem timur.