Jakarta, Parlando Indonesia -- Tidak pernah ada kata mudah dalam hal mencari uang, apalagi di kota besar seperti Jakarta. Begitu juga yang dialami oleh band kafe No Nation.
Walau banyak yang menganggap pekerjaan mereka glamor, karena sering ke luar masuk tempat hiburan malam, tapi tidak selamanya ada suka saat menjalaninya.
Band No Nation terbentuk beberapa hari sebelum malam pergantian tahun pada 2010. Pencetusnya ialah sang pemetik bass, Feby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena sudah terlanjur mendapat tawaran tampil di salah satu bar di kawasan Kemang, ia lalu mengajak kawan-kawannya--sesama musisi yang sedang merantau ke Ibu Kota, Donny (gitar), Renu (vokal), Tyo (Drum) dan Arod (kibor).
"Setelah terbentuk, kami tidak pernah berpikir lebih lanjut untuk meniti karier sebagai band kafe seperti sekarang. Saat itu, kami hanya membantu Feby yang sudah terlanjur membuat janji untuk tampil," kata Donny, saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com sebelum tampil pada Jumat (22/7).
Keberuntungan lalu berpihak kepada No Nation. Tak disangka, acara malam tahun baru berlangsung meriah, sehingga pemilik kafe menawari mereka kontrak untuk mengisi panggung secara tetap.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, No Nation pun mengiyakan tawaran itu.
Salah satu bentuk keseriusan personelnya ialah saat Renu memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai sales produk asuransi.
"Beda sekali jam kerjanya. Dulu harus sampai di kantor jam sembilan pagi. Sekarang jam sembilan pagi baru bisa tidur," ujar Renu sambil tersenyum.
Terhitung, sudah enam tahun No Nation sudah menjadi band kafe. Asam garam panggung dan industri ini sudah mereka rasakan.
Mulai dari perselisihan antar sesama personel, pengunjung kafe hingga pemilik kafe.
Pengalaman Tampil di "Ring Satu""Kami memiliki kesepakatan, kalau personel bisa berkarier musik solo, asal tidak melupakan No Nation. Jadi, perselisihan yang paling menantang mungkin dengan pengunjung kafe," kata Donny sambil tertawa.
Urusan adu mulut dan fisik dengan pengunjung kafe, bukan hal baru bagi mereka. Sejak awal terbentuk, No Nation sadar kalau mereka bekerja di "ring satu", yaitu tempat yang menjual minuman beralkohol.
Bukan bermaksud menyudutkan penggemar minuman beralkohol, namun tak dapat dipungkiri, masih ada beberapa orang yang secara tidak sadar terpancing emosi ketika menenggak minuman itu.
Salah satu perselisihannya bermula ketika seorang pengunjung meminta No Nation membawakan sebuah lagu.
Karena sudah terlalu mabuk, sang pengunjung lalu meminta dengan cara yang tidak sopan, bahkan sampai merebut paksa mikrofon Renu.
Sempat beradu tegang, perselisihan itu akhirnya berhasil didamaikan. Terhitung, baru tiga kali No Nation mengalami hal yang demikian.
"Pengunjung baru biasanya menganggap band kafe itu seperti mesin pemutar musik, yang bisa disuruh menyanyikan lagu apa saja."Renu, Vokalis band No Nation. |
"Pengunjung baru biasanya menganggap band kafe itu seperti mesin pemutar musik, yang bisa disuruh menyanyikan lagu apa saja. Kalau pengunjung lama sudah menganggap kami sebagai musisi," kata Renu.
"Jadi, kami tidak takut kalau kejadian yang sama bakal terulang lagi, karena banyak pengunjung lama yang membela kami," lanjut Tyo sambil tertawa.
Kalau perselisihan dengan pemilik kafe, bukan soal fisik, melainkan soal idealisme bermusik.
Pemilik kafe tentu saja ingin tempat usahanya selalu ramai dikunjungi, maka tidak sedikit yang memaksa No Nation untuk menyanyikan "lagu-lagu yang aman".
No Nation pernah dilarang membawakan beberapa genre lagu dengan alasan segmentasi pengunjung kafe. Sempat setuju, mereka lalu merasa tidak nyaman. Akhirnya tawaran tampil di salah satu bar mewah di Jakarta Pusat harus dilepaskan.
"Menurut saya, penampilan musisi kafe itu harusnya dibebaskan saja. Kalau musisinya sudah nyaman, musik yang dibawakannya jadi asyik, pengunjungnya juga jadi seru," kata Donny.
Cukup dan Bisa MenabungSudah enam tahun mengikat kontrak dengan bar yang sama--yang kini telah memiliki cabang di Menteng dan SCBD, seluruh personel No Nation merasa kalau karier sebagai musisi kafe memberi mereka upah yang lebih dari cukup.
Tak hanya menutupi kebutuhan pribadi, seluruh personel yang rata-rata sudah berkeluarga, bahkan bisa menyisihkan uangnya untuk menabung.
Bisa dibilang, menabung ialah sebuah "kemewahan" yang jarang bisa dilakukan oleh sebagian besar pekerja di kota besar.
 No Nation dalam salah satu penampilannya di bar kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (22/7). (Parlando Indonesia/Andry Novelino) |
"Sebagai anak rantau, kini kami bisa hidup dengan cukup di Jakarta. Renu bisa mencicil mobil, Feby bisa mencicil rumah, yang lainnya bisa memberi nafkah kepada istri dan orang tua. Ya, kami memang harus banyak bersyukur," kata Donny sambil tersenyum.
Kondisi ini membuat No Nation masih betah menjadi band kafe. Mereka tak peduli dengan pandangan miring mengenai pekerja tempat hiburan malam yang disandang.
"Selama yang kritik bukan istri, anak atau orang tua, kami tidak akan masukkan ke hati," ujar Renu.
"Sebagai anak rantau, kini kami bisa hidup dengan cukup di Jakarta. Renu bisa mencicil mobil, Feby bisa mencicil rumah, yang lainnya bisa memberi nafkah kepada istri dan orang tua. Ya, kami memang harus banyak bersyukur."Donny, Gitaris band No Nation. |
Tak Melupakan IdealismeEnam tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang musisi. Selama itu, seorang musisi pasti mampu menggubah lagu bahkan merilis album.
Sebagai musisi kafe, No Nation juga sudah berhasil melakukan itu. Sampai saat ini mereka telah memiliki lima lagu ciptaan sendiri.
Hujan dan
Gadisku adalah dua judul lagu yang sudah mereka rekam.
Di sela lagu
Waiting in a Vain, Leaving on a Jet Plane atau
Bento, mereka sering menyanyikan lagu itu.
Bahkan, tak sedikit pengunjung Beer Garden yang hapal dan ikut bernyanyi.
Kesuksesan awal itu membuat No Nation berniat untuk membuat album pendek yang dijual saat mereka tampil.
Album pendeknya memang belum dirilis, tapi mereka telah menjual pernak-pernik seperti kaus, yang ternyata laku di pasaran.
Hal itulah yang membuat No Nation semakin percaya diri.
"Kami juga ingin pamer karya sendiri. Setidaknya ada kenang-kenangan dari pekerjaan yang kami jalani," kata Donny.
"Kami merasa sudah punya penggemar setia. Jadi tak terlalu khawatir kalau album pendeknya tidak laku," lanjutnya.
Kalau nyatanya album pendek itu sukses, No Nation tidak menutup kemungkinan untuk hijrah ke panggung musik nasional.
Tapi, mereka juga telah sepakat untuk tidak akan pernah melupakan panggung kafe.
"Kalau kami sudah terkenal se-Indonesia Raya ya akan tetap manggung di kafe dong! Tapi mungkin jadi agak jarang ya," ujar Renu sambil tertawa.
(ard/ard)