Jakarta, Parlando Indonesia --
Saya Yahya Wahid, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S2 di University of Turin, Kota Turin, Italia. Menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan di Eropa, khususnya di Italia, menjadi pengalaman yang sangat berharga sekaligus menantang bagi saya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim, Italia memiliki dinamika sosial dan budaya yang berbeda, terutama dalam hal praktik keagamaan. Berbagai tantangan yang saya hadapi selama berpuasa di sini tidak hanya menguji kesabaran, tetapi juga memberikan pelajaran hidup yang tak ternilai.
Salah satu tantangan terbesar adalah jadwal kuliah yang padat. Di semester ini, saya memiliki kelas pada sore hari, yaitu pukul 5 hingga 8 malam waktu setempat. Jadwal ini bertepatan dengan waktu berbuka puasa, yang di Italia jatuh sekitar pukul 7.30 malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini memaksa saya untuk membawa bekal kecil ke kampus dan meminta izin kepada dosen untuk berbuka di sela-sela pelajaran. Meskipun dosen saya cukup memahami, saya harus menjelaskan terlebih dahulu tentang makna puasa dan pentingnya berbuka tepat waktu.
Ini adalah momen yang membuat saya menyadari betapa pentingnya komunikasi dan saling pengertian dalam lingkungan yang multikultural.
Selain itu, keterbatasan akses makanan halal juga menjadi tantangan tersendiri. Walaupun Italia memiliki beberapa restoran dan pasar halal, jumlahnya tidak sebanyak di negara-negara mayoritas Muslim.
Saya harus merencanakan dengan matang untuk membeli bahan makanan atau mencari restoran yang sesuai dengan kebutuhan saya.
Terkadang, saya juga harus memasak sendiri di asrama untuk memastikan bahwa makanan yang saya konsumsi benar- benar halal. Proses ini mengajarkan saya untuk lebih mandiri dan kreatif dalam mengatur kebutuhan sehari-hari.
Perbedaan sosial dan budaya juga menjadi tantangan yang cukup signifikan. Meskipun orang Italia terkenal ramah dan terbuka, tidak semua orang memahami tradisi dan kebiasaan umat Muslim selama Ramadan.
Misalnya, teman-teman sekelas atau rekan di asrama mungkin tidak mengerti mengapa saya menolak ajakan makan siang atau mengapa saya terlihat lelah di siang hari.
Saya sering kali harus menjelaskan bahwa saya sedang berpuasa dan bahwa ini adalah bagian dari ibadah saya. Meskipun terkadang terasa melelahkan, proses ini justru membuka peluang untuk berbagi pengetahuan tentang Islam dan memperkaya pemahaman lintas budaya.
Tinggal di asrama juga menambah daftar tantangan. Saya harus bangun pagi untuk sahur, yang berarti saya harus berusaha tidak mengganggu teman-teman asrama dengan suara aktivitas saya di dapur.
Selain itu, saya juga harus menjaga kebersihan dan ketenangan agar tidak mengganggu orang lain. Ini mengajarkan saya untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan menghargai privasi orang lain.
Beruntungnya, saat Ramadan tahun ini jatuh di bulan Maret, sehingga cuaca di Italia lebih bersahabat dibanding jika Ramadan berlangsung ketika musim panas sedang menerpa Negeri Pizza. Durasi puasa di Turin sendiri mencapai sekitar 16 jam.
Jika sedang tidak ada mata kuliah, saya kerap berbuka puasa di Masjid Omar Ibn al Khattab yang terletak di Kota Turin. Di masjid ini saya banyak bertemu umat Muslim lainnya yang sedang berada di Turin, lalu saling bercengkerama berbagi pengalaman, dan beribadah salat Magrib, Isya, hingga tarawih bersama.
Tapi, jangan bayangkan apabila berbuka puasa di sini, masjid mengalunkan suara adzan Magrib yang terdengar dari luar ruangan. Suara adzan masjid di sini hanya terdengar di dalam ruangan. Jika sedang di luar ruangan, kami biasanya tahu waktu berbuka puasa dari aplikasi Islami.
Namun, di balik semua tantangan tersebut, ada banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan. Berpuasa di Italia mengajarkan saya tentang arti kesabaran, kedisiplinan, dan kemampuan beradaptasi.
Saya belajar untuk lebih menghargai perbedaan dan menemukan cara untuk tetap menjalankan ibadah dengan baik meskipun berada di lingkungan yang tidak sepenuhnya memahami tradisi saya.
 Mahasiswa asal Indonesia, Muhamad Yahya yang tengah mengejar gelar pascasarjana di Kota Turin, Italia. (Arsip: Muhamad Yahya) |
Pengalaman ini juga memperluas wawasan saya tentang dunia. Saya menyadari bahwa meskipun kita berasal dari latar belakang yang berbeda, ada banyak nilai-nilai universal yang bisa kita bagi, seperti saling menghormati dan memahami.
Ramadan di Italia bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membangun jembatan antar budaya dan menemukan makna baru dalam kehidupan sebagai seorang pelajar di negeri orang.
Dengan segala tantangan dan pelajaran yang saya alami, saya merasa bahwa berpuasa di Italia telah mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan. Ini adalah pengalaman yang tidak hanya memperkaya iman, tetapi juga memperluas pemahaman saya tentang dunia dan manusia di dalamnya.