BGN Akan Tindaklanjuti Temuan Ombudsman soal MBG Pakai Beras Medium
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti temuan Ombudsman RI terkait penggunaan beras medium dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), padahal kontrak menyebut harus beras premium.
"Itu kan temuan, nanti kita tindak lanjuti," ujar Dadan di Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Kamis (2/10).
Ia menegaskan bila ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur umum MBG yang tidak menjalankan kontrak sesuai ketentuan, hal itu akan menjadi bagian dari pemeriksaan.
"Gini, itu kan salah satu bagian pengawasan. Jadi kalau ada yang gitu-gitu (SPPG bermasalah), pasti urusannya nanti dengan urusan pemeriksaan," katanya.
Ombudsman sebelumnya mengungkap adanya ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi bahan pangan untuk MBG. Di Bogor, misalnya, SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen, meski kontrak mencantumkan beras premium.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman RI Kusharyanto menyebut hal tersebut sebagai bentuk penyimpangan prosedur.
"Yang kami temukan itu adalah bahwa ada penyimpangan ketika pengadaan menyatakan premium tetapi yang disediakan oleh supplier justru medium, dan itu lolos dari pengecekan SPPG," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (30/9).
Menurutnya, negara sudah membayar dengan harga premium, tetapi anak-anak di sekolah justru menerima beras kualitas medium.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut kondisi ini merugikan kualitas sajian MBG.
"Negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal," ujarnya.
Temuan ini menjadi bagian dari kajian Ombudsman mengenai penyelenggaraan MBG yang masih menyimpan banyak masalah. Di sejumlah daerah, sayuran datang dalam kondisi tidak segar, lauk-pauk tidak lengkap, hingga keterbatasan tenaga dan kompensasi bagi relawan maupun guru yang turut menangani distribusi.
Selain itu, Ombudsman juga menyoroti belum adanya standar mutu bahan (AQL) yang tegas, lemahnya pengendalian mutu di dapur, hingga pelanggaran aturan distribusi makanan yang seharusnya maksimal empat jam.
Sistem pengawasan digital BGN pun dinilai masih parsial dan belum mampu menyajikan data real time terkait mutu bahan maupun insiden keracunan.
Dengan berbagai catatan tersebut, Ombudsman meminta tata kelola MBG diperbaiki agar lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada penerima manfaat.
(del/pta)