Jakarta, Parlando Indonesia -- Pada Selasa lalu (20/9), Garut dilanda banjir bandang luapan air dari sungai Cimanuk. BNPB mencatat, ada 33 korban tewas, 20 orang hilang, 35 orang luka, dan 6.360 orang mengungsi. Sementara itu, 2.049 rumah terdampak banjir di antaranya, 283 hanyut, 605 rumah rusak berat, 200 rumah rusak sedang, dan 961 rumah rusak ringan. Dari angka tersebut, bisa dikatakan banyak warga rugi materiil, sebab semuanya telah hancur disapu oleh air banjir.
Dari data yang dicatat oleh BNPB itu, dapat diketahui bahwa banjir yang menimpa Garut sangat besar. Bayangkan saja, air setinggi dua meter melanda wilayah Garut dalam waktu sekejap. Semua luluh lantah, rata dengan tanah.
Bencana banjir di Garut itu memang sangat dahsyat. Namun, hal itu belum seberapa. Masyarakat Jawa Barat, bila melihat data wilayah rawan bencana alam yang dibuat oleh BNPB, akan sering bertemu bencana alam dalam kesehariannya. Sebabnya, Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat rawan bencana. Bukan hanya banjir, bencana longsor, gempa bumi, hingga gunung meletus sangat berpotensi terjadi di provinsi yang memiliki penduduk paling banyak itu. Di antara berbagai wilayah di Jawa Barat, wilayah yang paling rawan bencana alam adalah Kabupaten Sumedang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kabupaten yang memiliki ciri khas Jembatan Cincin ini, memiliki kawasan pendidikan yang terletak di Kecamatan Jatinangor. Di kecamatan tersebut, pembangunan berlangsung pesat. Sebenarnya penetapan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan sudah direncanakan sejak tahun 1980-an dengan menggunakan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP). Namun, seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan berdirinya beberapa kampus-kampus bertaraf nasional, yaitu Unpad, ITB, Ikopin, dan IPDN, membuat Jatinangor makin tidak tertata rapi.
Pembangunan kampus ini tentunya mengubah juga seluruh aspek kehidupan yang ada di Jatinangor. Pembangunan yang paling spesifik terlihat adalah mall, apartemen, dan kos-kosan. Pembangunan ini pun memicu adanya kerusakan lingkungan di wilayah yang berada di ujung Sumedang tersebut. Selain itu, disadari atau tidak, Jatinangor juga merupakan kawasan rawan bencana alam terbesar.
Menurut penelitian yang dibuat oleh Dicky Muslim berjudul "Pentingnya Identifikasi Patahan Aktif Dalam Upaya Mitigasi Bencana Di Kawasan Pendidikan Jatinangor", sedikitnya terdapat tiga bencana alam, yaitu banjir, longsor, dan aktifnya Gunung Manglayang.
Banjir sering terjadi di kawasan Ciseke. Kawasan tersebut memang terkenal sebagai wilayah yang padat penduduk. Kos-kosan dan warung makan menumpuk tak beraturan. Tak jarang mudah menemukan sampah berserakan di jalan. Tak heran, banjir dan kekeringan air melanda Ciseke setiap tahunnya.
Penyebab bencana longsor pun sama seperti banjir. “Pemotongan” tanah tidak benar dan kondisi tanah yang buruk akibat sampah menjadi penyebab seringnya longsor di Jatinangor. Terhitung tiga dalam 6 bulan terakhir longsor melanda tempat yang dekat dengan Taman Loji itu. Parahnya lagi, Unpad pun sebagai tempat berkumpulnya akademisi menjadi juga memiliki daerah rawan longsor. Tepatnya di depan gedung Pascasarjana Fikom Unpad.
Dari dua bencana tersebut, tentu kembali aktifnya Gunung Manglayang sewaktu-waktu bisa menjadi “hantu” warga Jatinangor, umumnya Sumedang. Disadari atau tidak, gunung yang berada di sebelah utara Unpad itu masih memiliki kawah aktif di bagian kaki gunung yang bisa kapan saja meletus. Bahkan, Jatinangor bisa menjadi lautan abu dalam sekejap apabila itu terjadi. Ditambah lagi gempa bumi yang disebabkan letusan itu bisa membuat seluruh bencana tersebut bisa terjadi dalam waktu bersamaan.
Langkah aman Bencana tersebut kini sudah kita ketahui. Jika itu terjadi, pasti dampaknya besar dan menyangkut orang banyak. Lalu, kita sebagai masyarakat dan mahasiswa bisa apa untuk mencegah bencana itu?
Pertama, perlunya sinergi antara masyarakat dan mahasiswa. Aktifnya mahasiswa dan masyarakat untuk penataan kembali ruang hijau dan bersih, tentunya menjadi suatu kekuatan untuk mencegah bencana datang. Perlunya mahasiswa aktif dalam kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya juga memberi dampak positif agar nilai-nilai Tri Darma Perguruan tinggi dapat dijunjung dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Hegarmanah, Ciseke, dan Cisaladah merupakan contoh wilayah yang sering terkena dampak bencana alam. Belajar dari pengalaman seharusnya pemerintah juga melakukan pemetaan daerah lain, termasuk di kampus-kampus sekitar agar dapat dideteksi daerah rawan bencana agar pembangunan di lingkungan kampus dapat ditata rapi.
Ketiga, menggalakkan sosialisasi efek bencana alam. Jatinangor adalah wilayah yang dikenal sebagai kawasan pendidikan. Patut diingat, pendidikan bukan dalam dunia kampus atau universitas saja, melainkan sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dengan disebarkannya informasi penanggulangan bencana sejak dini, mereka pun paham apa yang harus dilakukannya jika bencana datang.
Keempat, regulasi yang kuat dan jelas. Kawasan pendidikan dengan luas wilayah 956,59 hektare ini menurut Peraturan Bupati (Perbup) Sumedang Nomor 12 Tahun 2013 menggunakan konsep University Town. Konsep tersebut tentunya membuat para pengembang usaha apartemen. Akan tetapi, pembangunan itu harus dikaji dengan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) serta Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Menurut Peraturan Bupati yang disebutkan sebelumnya, ketinggian maksimal bangunan di Jatinangor hanya 12 lantai. Namun, nyatanya banyak apartemen membangun lebih dari 15 lantai.
Langkah-langkah tersebut tentu bisa mengurangi dampak bencana alam di kota pendidikan yang kita cintai ini. Pendidikan bagus pastinya didukung oleh sarana dan fasilitas aman dan nyaman bagi penggunanya. Lantas, jika bencana tersebut terjadi, masih pantaskah Jatinangor disebut kota pendidikan?
(ded/ded)